Senin, 24 November 2008

Cyber School di Daerah Banten Sebuah Keniscayaan

Oleh:
Rizkiana Putra M.
Deden Anugrah H.
dan Tim Fibusi IR&D
Bekerjasama dengan
The Sundanese Cyber School

Sejak dunia internet berkembang pada awal 1990-an, dan mulai memasuki Indonesia, kita diperkaya dengan sejumlah kosa kata (vocabulary) yang benar-benar baru dan terkesan sedikit ‘gagah’ seperti cyber-space, cyber-city, cyber-school, cyber-medicine. Kata cyber dikonotasikan dengan sesuatu yang maya, sehingga kata cyber-space secara mudah dapat diartikan dengan dunia maya – suatu dunia yang kasat mata tetapi bisa dilihat dan dirasakan dengan perantara produk teknologi, seperti komputer dan peranti telekomunikasi. Lalu, dari mana dan bagaimana kata cyberspace itu muncul dan mulai meluas?

Ternyata, istilah itu berasal dari sebuah karya fiksi ilmiah. Pada tahun 1984, terbit Neuromancer, sebuah fiksi ilmiah yang berkisah seputar jalinan hubungan antara otak manusia dan jaringan komputer. Dalam novel karangan William Gibson itulah, istilah cyber-space muncul untuk pertama kalinya. Kini, di ujung abad ke-20 ini, teknologi informasi dan komunikasi kian berkembang luar biasa, sehingga gambaran cyber-space yang dikhayalkan Gibson kian menjadi nyata.

Akhirnya kita bisa memahami makna cyber-space secara lebih konseptual. Yang paling sederhana adalah konsep dari Joan Buick dan Zoean Jevtiec, pengarang buku panduan bergambar buat para pemula, Mengenal Cyberspace. "Cyberspace akhirnya diartikan sebagai kombinasi teknologi informasi, penyimpanan, dan pencarian dengan telekomunikasi global dan reproduksi audio-visual domestik," tulis Buick dan Jevtic.

Lebih filosofis lagi, cyber-space pada tingkat tertentu, dapat dilihat – bahkan dirasakan -- sebagai gaya hidup. "Gaya hidup web," kata jugermaut industri perangkat lunak dan CEO Microsoft, Bill Gates. Ia memang percaya world wide web yang merupakan kehandalan internet akan memberikan manfaat dan sejumlah kemudahan bagi kehidupan manusia – termasuk untuk mewujudkan suatu "masyarakat tanpa kertas", terutama untuk masa yang akan datang. Gagasannya tentang masa depan memang tidak bisa dipisahkan dengan gagasannya mengenai suatu jaringan dunia, di mana "sebuah komputer pada setiap meja, dan di setiap rumah".

Internet Janjikan Kemudahan

Keunggulan internet terutama terletak pada potensi dan efektivitasnya yang menjanjikan kemudahan. The world on your fingertips – dunia berada di telapak tangan Anda. Ungkapan yang mulai lazim di dunia teknologi komunikasi ini tampaknya akan semakin bermakna dengan terwujudnya jaringan komunikasi adimarga (superhighway) di dunia pada abad ke-21. Suatu rekayasa manusia "memperkecil" dunia hingga berada dalam genggaman tangan, dengan mengakselerasi penyampaian informasi dan komunikasi interaktif secara elektronis.

Karenanya, beberapa saat lagi, wajah kota metropolitan dunia segera berubah. Pemandangan orang berbelanja di swalayan, menekan tombol ATM untuk membayar rekening, atau keramaian tempat bermain anak-anak, suatu saat akan sirna. Semua urusan yang dulunya membutuhkan waktu, tenaga dan jarak, nanti cukup diselesaikan sambil duduk di depan layar komputer dan dengan klik-klik-klik, semua beres. Untuk berbelanja, setelah memasukkan account number, dan klik, tak lama barang yang dipesan akan segera diantar melalui delivery services.

Begitupun untuk berkorespondensi, tak perlu repot-repot menulis surat, memasukkan ke amplop, membubuhi perangko dan mengantarkannya ke bis surat, tetapi cukup mengirim e-mail (electronic-mail) yang hanya membutuhkan pulsa telepon lokal untuk mengirim pesan ke mana saja ke berbagai belahan dunia. Tidak itu saja, Anda bisa berbicara langsung dengan rekan koresponden Anda, sambil melihat wajahnya secara langsung, dan itu tidak membutuhkan biaya yang mahal.

Kontak dan komunikasi jarak jauh memang sangat efektif dan efisien (yang juga berarti murah) dilakukan dengan memanfaatkan jalur internet. Gagasan ini pula yang mulai membuat orang untuk melakukan seminar, wawancara, konferensi jarak jauh atau check-up kesehatan, termasuk untuk pendidikan atau sekolah jarak jauh melalui internet. Kuliah di web seperti virtual university sudah lama dimulai di AS, mahasiswa tinggal menyimak kuliah-kuliah pada jam tertentu di layar komputer dan mengikuti ujian secara interaktif. Jadi waktu yang biasa digunakan untuk berangkat ke kampus, atau berjalan dari ruang kuliah yang satu ke ruang yang lain bisa dihemat dan dimanfaatkan untuk bekerja part-time atau untuk urusan lainnya.

Percontohan Cyber School di Indonesia

Meski sejak beberapa bulan terakhir ini, Indonesia mencanangkan proyek Nusantara-21, kita melihat belum ada langkah yang bisa dikatakan sebagai kemajuan terhadap gagasan tersebut. Berbeda dengan negara tetangga kita, Singapura yang sudah meluncurkan Singapore-ONE (One Network for Everyone) atau Malaysia yang sudah memulai proyek MSC (Multimedia Super Corridor). Malaysia bahkan mengundang Bill Gates berbicara di Kuala Lumpur pertengahan Maret lalu. Dalam proyek itu, Malaysia yang juga berhasil menggaet Gates untuk berinvestasi, membangun sekolah-sekolah cerdas (Smart Schools) dan sebuah lembaga diklat untuk melahirkan programmer handal, Malaysian Young Programmer Club (MyPC).

Maka, tanpa gembar-gembor sebelumnya -- dan bukan merupakan bagian dari rencana Nusantara-21 yang kini entah mengendap di mana -- di tengah krisis moneter pula, tiba-tiba sebuah percontohan cyber school yang menggunakan berbagai fasilitas internet seperti net meeting, tele-conferencing dan video-conferencing (berbeda dengan virtual school atau virtual university yang sekadar memanfaatkan tutorial lewat fasilitas web semata) untuk sejumlah SMU (Sekolah Menengah Umum) sudah dilakukan di Bandung. Artinya, cyber school terkesan lebih aktif, tetap membutuhkan ruang kelas, ruang seminar dan sejumlah peralatan labor – dan boleh dikatakan lebih "nyata".

Sebagai tahap awal merealisasikan pembentukan jaringan pendidikan itu ke seluruh Indonesia, Sonny Sugema College (SSC) sebagai penyedia fasilitas, saat ini baru merangkul sejumlah SMU Depdikbud di Kotamadya Bandung, kata Presiden Direktur SSC, H. Sonny Sugema, MBA di Bandung, (Antara, 15/4/98). Dalam acara peresmian jaringan pendidikan melalui internet antara SSC bekerjasama dengan Kandepdikbud Kotamadya Bandung dan PT Indosat, ia mengatakan, dalam tahap selanjutnya selain SMU akan dikembangkan ke sekolah-sekolah lanjutan pertama (SLTP) dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.

Jaringan pendidikan melalui internet yang pertama kali diterapkan di Indonesia itu, menurut Sonny, sampai saat ini sudah terjaring tujuh SMU Negeri di Bandung yang telah diresmikan dan online serta memiliki web sites (situs web/halaman informasi) di internet, yaitu SMUN 23, SMUN 2, SMUN 3, SMUN 5, SMUN 8, SMUN 22 dan SMUN 1, sekaligus dijadikan proyek percontohan dalam pengembangan kegiatan selanjutnya.

Dalam mewujudkan terbentuknya jaringan pendidikan tersebut, untuk langkah awal, PT Indosat sebagai provider (penyedia jasa layanan internet) telah bersedia memberikan 27 account (suatu saluran dari provider yang memungkinkan komputer mengakses atau diakses internet) secara cuma-cuma kepada SSC selama enam bulan. SSC sebagai penyedia fasilitas hosting dan multimedia gratis kepada sekolah-sekolah, mendistribusikan ke 27 account gratis tersebut ke 27 sekolah dan lembaga terkait yang sudah menjadi anggota jaringan pendidikan.

Untuk hosting, SSC menyediakan fasilitas multimedia secara cuma-cuma kepada sekolah-sekolah yang sudah menjadi anggota. Fasilitas yang ditawarkan meliputi free e-mail dan free homepage basic design secara gratis, net meeting, tele-conferencing dan video-conferencing yang memungkinkan sekolah-sekolah tersebut menyelenggarakan proses belajar mengajar jarak jauh.

Sebuah "Exercise" yang Menantang

Dengan telah diresmikannya pembentukan jaringan pendidikan tersebut, dalam waktu yang tidak lama lagi seluruh lembaga kependidikan -- tak terkecuali kantor-kantor dinas pendidikan dan kebudayaan dari pelosok daerah -- kantor pusat, sekolah-sekolah, mulai dari TK sampai PT, di Indonesia akan terkoneksi ke internet. Lembaga-lembaga pendidikan itu akan segera online dan mengadakan komunikasi interaktif secara real time dengan menggunakan fasilitas multimedia ke samudera informasi tanpa batas di cyber space internet.

Gagasan cyber school semacam ini memang relevan untuk dikembangkan dalam mengantisipasi masa depan yang kian kompetitif di tengah aroma persaingan teknologi informasi. Memang bagi Indonesia, hambatan seperti krisis moneter dewasa ini sangat mengganggu, tetapi yang namanya gagasan cemerlang tak mesti dilaksanakan esok hari. Sebab hal itu bisa dibahas dan diagendakan dulu, tetapi yang paling penting, harus ditangkap signifikansi gagasannya. Dan dengan keyakinan dan asumsi bahwa krisis moneter akan segera berlalu, kita memang tak perlu kecut untuk menyusun strategi masa depan.

Teladan di depan mata kita adalah Malaysia. Negeri jiran yang juga terkena imbas krisis moneter itu justeru tak menyurutkan langkahnya sedikit pun untuk membangun proyek raksasa MSC. Perdana Menteri Mahathir Mohammad justru sedang giat-giatnya melobi dan menarik minat investor asing untuk menanamkan dolarnya di Malaysia. Usaha itu ternyata tidaklah keliru: investor ternyata berbondong-bondong menanamkan modalnya – bahkan tak kurang boss Microsoft Bill Gates "jatuh cinta" pada proyek itu. Krisis moneter ternyata tidak membuat Malaysia harus "tidur mendengkur".

Itulah sebabnya, berita yang kelihatan "kecil" mengenai proyek percontohan cyber school di Bandung, sebenarnya memuat gagasan besar dan memberitahu kita bahwa sejarah baru telah dimulai. Masalahnya sekarang, bagaimana kita, atau yang lebih penting lagi pemerintah, menyikapi – mendukungnya? Inilah kondisi yang bisa dikatakan sebagai point of no return, karenanya, harus dilanjutkan.

Cyber school akan membuat para siswa akan bersentuhan langsung dengan teknologi informasi, dalam hal ini internet. Para siswa akan dihadapkan pada sebuah dunia belantara informasi dan sebuah exercise yang sangat menantang. Tak pelak lagi, ada sejumlah prasyarat-prasyarat penting yang harus dimiliki sebelum siswa bersentuhan dengan internet. Yang dituntut tentu saja kesiapan mereka berhadapan dengan teknologi. Apa saja yang mencakup kesiapan itu?

Kesiapan itu, sebenarnya tak jauh dari keseharian mereka sebagai siswa: bahwa mereka harus benar-benar mencintai pelajaran-pelajaran mereka sendiri seperti matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPS dan lain-lain, yang sangat berguna ketika mereka sedang mengakses informasi, terutama ketika melakukan penjelajahan dan pencarian (searching). Dengan materi pelajaran yang sama, tapi disampaikan lewat fasilitas internet, mungkin bisa mengurangi kebosanan siswa yang sering muncul. Mereka akan lebih bergairah. Di sini membuktikan bahwa teknologi, dalam hal ini internet, hanyalah sebuah alat, bukan tujuan, dalam proses belajar mengajar di dunia pendidikan.

Teknologi juga akan mengajarkan mereka efisiensi, kecermatan, ketelatenan dan bahkan kesigapan. Dengan proyek percontohan cyber school mereka akan segera familiar dengan istilah-istilah teknologi, suatu bekal yang amat penting dan relevan dalam menghadapi abad mendatang. Apa pun minat para siswa, apakah di bidang eksakta atau sosial, jangan jauhkan mereka dari teknologi, karena itu akan merugikan mereka. Akses teknologi akan dibutuhkan oleh semua orang, oleh semua bidang.

Kesiapan siswa saja, tentulah tidak cukup. Fasilitator yang menyelenggarakan program ini tentu membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Sehingga, kalau bukan subsidi yang akan diberikan, pemerintah bisa mendukungnya dengan terus melaksanakan deregulasi dan debirokratisasi yang dapat mempermulus berkembangnya industri jasa teknologi informasi dan sekaligus, pada saat yang sama, mendukung dunia pendidikan lewat cyber school.

Salah satu contoh yang paling aktual adalah menjeritnya para pengguna internet di Indonesia berhubung makin mahalnya pulsa telepon lokal di Indonesia – sebagaimana diketahui koneksi internet digemari justru karena menggunakan pulsa lokal. Ini mungkin mendesak untuk diperhatikan oleh pemerintah, mengingat besarnya animo masyarakat Indonesia terhadap internet. Tetapi animo yang besar itu lambat-laun akan menurun jika solusi pulsa telepon tak juga kunjung dipecahkan. Bila itu terjadi, tentu merupakan langkah mundur – set-back – bagi Indonesia, dan untuk memulainya lagi tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat dan kerja keras lagi.

Bila pulsa telepon lokal tetap mahal, atau malah tambah mahal, program apapun yang memanfaatkan teknologi internet tak akan jalan dengan baik, termasuk kegiatan cyber school yang secara sukarela telah dipelopori SSC dan PT Indosat di Bandung.

Memang kedengaranya utopis sekali hal diatas untuk Kabupaten Ciamis , kemungkinan untuk itu adalah suatu keniscayaan dengan dibangunnya WAN (Wide Area Network)yang terintegrasi untuk sekolah menegah maka itu sebuah langkah yang sangat prestisius dimana komitmen kearah perkembangan teknologi perlu disadari oleh generasi muda. Berharaplah dan yakinlah itu akan terjadi. Mampuhkah Banten mewujudkan Cyber School?